Seperti ditulis Ensiklopedia Columbia, nenek moyang sepeda diperkirakan berasal dari Prancis. Menurut kabar sejarah, negeri itu sudah sejak awal abad ke-18 mengenal alat transportasi roda dua yang dinamai velocipede. Bertahun-tahun, velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk hasil rancang bangun kendaraan dua roda.

Yang pasti, konstruksinya belum mengenal besi. Modelnya pun masih sangat "primitif". Ada yang bilang tanpa engkol, pedal tongkat kemudi (setang). Ada juga yang bilang sudah mengenal engkol dan setang, tapi konstruksinya dari kayu.

Adalah seorang Jerman bernama Baron Karls Drais von Sauerbronn yang pantas dicatat sebagai salah seorang penyempurna velocipede. Tahun 1818, von Sauerbronn membuat alat transportasi roda dua untuk menunjang efisiensi kerjanya. Sebagai kepala pengawas hutan Baden, ia memang butuh sarana transportasi bermobilitas tinggi. Tapi, model yang dikembangkan tampaknya masih mendua, antara sepeda dan kereta kuda. Sehingga masyarakat menjuluki ciptaan sang Baron sebagai dandy horse.

Baru pada 1839, Kirkpatrick MacMillan, pandai besi kelahiran Skotlandia, membuatkan "mesin" khusus untuk sepeda. Tentu bukan mesin seperti yang dimiliki sepeda motor, tapi lebih mirip pendorong yang diaktifkan engkol, lewat gerakan turun-naik kaki mengayuh pedal. MacMillan pun sudah "berani" menghubungkan engkol tadi dengan tongkat kemudi (setang sederhana).

Sedangkan ensiklopedia Britannica.com mencatat upaya penyempurnaan penemu Prancis, Ernest Michaux pada 1855, dengan membuat pemberat engkol, hingga laju sepeda lebih stabil. Makin sempurna setelah orang Prancis lainnya, Pierre Lallement (1865) memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg). Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang.



Namun kemajuan paling signifikan terjadi saat teknologi pembuatan baja berlubang ditemukan, menyusul kian bagusnya teknik penyambungan besi, serta penemuan karet sebagai bahan baku ban. Namun, faktor safety dan kenyamanan tetap belum terpecahkan. Karena teknologi suspensi (per dan sebagainya) belum ditemukan, goyangan dan guncangan sering membuat penunggangnya sakit pinggang. Setengah bercanda, masyarakat menjuluki sepeda Lallement sebagai boneshaker (penggoyang tulang).

Sehingga tidak heran jika di era 1880-an, sepeda tiga roda yang dianggap lebih aman buat wanita dan laki-laki yang kakinya terlalu pendek untuk mengayuh sepeda konvensional menjadi begitu populer. Trend sepeda roda dua kembali mendunia setelah berdirinya pabrik sepeda pertama di Coventry, Inggris pada 1885. Pabrik yang didirikan James Starley ini makin menemukan momentum setelah tahun 1888 John Dunlop menemukan teknologi ban angin. Laju sepeda pun tak lagi berguncang.

Penemuan lainnya, seperti rem, perbandingan gigi yang bisa diganti-ganti, rantai, setang yang bisa digerakkan, dan masih banyak lagi makin menambah daya tarik sepeda. Sejak itu, berjuta-juta orang mulai menjadikan sepeda sebagai alat transportasi, dengan Amerika dan Eropa sebagai pionirnya. Meski lambat laun, perannya mulai disingkirkan mobil dan sepeda motor, sepeda tetap punya pemerhati. Bahkan penggemarnya dikenal sangat fanatik.

Kini, sepeda punya beragam nama dan model. Ada sepeda roda tiga buat balita, sepeda mini, "sepeda kumbang", hingga sepeda tandem buat dikendarai bersama. Bahkan olahraga balap sepeda mengenal sedikitnya tiga macam perangkat lomba. Yakni "sepeda jalan raya" untuk jalanan mulus yang memiliki sampai 16 kombinasi gir yang berbeda, "sepeda track" dengan hanya 1 gigi serta "sepeda gunung" yang memiliki 24 gigi.

Disunting dari id.wikipedia.org

Read More/Selengkapnya...

Bagi mereka-mereka yang sudah pernah dinyatakan oleh dokter menderita gagal jantung kronik jangan ragu untuk memulai latihan fisik berskala sedang untuk membantu memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, demikian anjuran yang merupakan hasil penelitian terkini, seperti dilansir media, Selasa (20/11/07).

Para ilmuwan dari Universitas Leipzig di Jerman menemukan otot-otot jantung yang mengkerut setelah mengalami gagal jantung mengalami perbaikan kembalinya daya kerjanya pada saat di pasien melakukan latyihan olah fisik .

Untuk pasien yang mengalami gagal jantung kronik, jantung tidak dapat melakukan kerja memompa darah ke seluruh tubuh.



Seringkali hal tersebut menyebabkan otot-otot dari tubuh menjadi lemah dan seringkali tidak dapat bekerja samasekali.

Jumlah dari pembuluh darah yang halus dalam jaringan otot juga mengalami penurunan jumlahnya.

Dari penelitian klinis yang melibatkan 25 pria dengan serangan mulai dari yang ringan hingga ke yang paling berat diminta melakukan latihan bersepeda statis sedikitnya 30 menit dalam sehari.

Setelah enam bulan mereka dibandingkan dengan kelompok lainnya yang juga terdiri dari 25 orang pria yang tidak melakukan latihan olah fisik sama sekali.

Kelompok pria yang melakukan latihan olahraga secara rutin ditemukan memiliki sel-sel 'Progenitor' yang belum matang di dalam otot mereka.

Jumlah sel-sel progenitor yang berubah menjadi sel-sel otot bertambah dengan semakin besar prosentase jumlah sel progenitor yang belum matang.

Pada saat melakukan latihan fisik, kelompok pasien yang bersepeda mengatakan mereka merasa lebih sehat dan kemampuan latihan olahraga mereka meningkat sebanyak 20 persen.

Dalam penelitian lainnya para ilmuwan menelusuri sel-sel progenitor yang terbentuk di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam proses regenerasi dan perbaikan dinding pembuluh darah.

Sekelompok pasien yang terdiri dari 37 pasien gagal jantung secara acak diminta untuk melakukan latihan olah raga selama 12 pekan sementara yangb lainnya untuk kurun waktu yang sama tidak melakukan kegiatan latihan fisik sama sekali.

Dari hasil tes darah menunjukkan sel-sel progenitor dari pembuluh darah yang beredar pada psien ptria yang melakukan latihan olahraga jumlahnya jauh lebih tinggi.

Perbandingan dari sel-sel yang mulai matang menjadi sel-sel endothelial yang membuat pembuluh darah baru meningkat 200 per sen dengan melakukan latihan.

Sebagai tambahan kepadatan pembuluh kapilaris dalam jaringan skeletal meningkat hingga mendekati 20 persen pada pasien poria yang berolahraga.

Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam pertemuan tahunan para ahli penyakit jantung Amerika di Florida.

Dr Axel Linke dari Universitas Leipzig yang memimpin penelitian mengatakan: "Dengan melakukan latihan olahraga maka akan diperoleh manfaat bagi para pasien penderita gagal jantung baik dari mereka yang dapat serangan ringan sampai berat."

Hasil penelitian memperlihatkan manfaat yang diperoleh adalah terjadinya regenerasi sel otot dan sekligus terbentuknya pembuluh darah baru.

by Cyberforum

Read More/Selengkapnya...

Oleh: Muhammad Arief Rahman

Tahukah Anda kalau bersepeda bisa membuat orang jadi gila? Dan apakah Anda percaya kalau di sisi lain kegilaan justru dapat dicegah dengan bersepeda? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gila dapat berarti: 1. sakit ingatan; sakit jiwa. 2. tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya. 3. kata seru dalam percakapan yang bisa berarti ‘kagum’. 4. menyukai, mencintai atau menggemari sesuatu. 5. tidak masuk akal. Walaupun memiliki beragam makna, namun semuanya berada pada wilayah semantik yang sama, atau dalam istilah linguistik disebut polisemi.

Lalu, semantik apa yang mengikat kelima makna kata gila itu sehingga ia disebut polisemi? Di sini Anda mungkin tidak akan menemukan penjelasannya secara teoretis kebahasaan. Namun, uraian saya ini mungkin akan membuat Anda mengerti apa esensi sederhana dari kata gila, bagaimana menyikapi kegilaan, dan kegilaan apa yang dianjurkan.


Pagi di pertengahan Oktober 2005 lalu, sebuah tayangan entertainment di salah satu TV swasta mengulas tentang suatu komunitas pekerja bersepeda yang selalu menggunakan sepeda ke tempat kerjanya. Sebuah aktivitas yang tak lazim dilakukan mayoritas masyarakat di Ibukota, yang kebanyakan lebih memilih menggunakan bus atau kendaraan bermotor lainnya. Spontan, saya pun berkomentar, “Gila!”. Kini, komentar itu telah berbalik tertuju kepada saya. Hampir semua rekan kerja saya berseru, “Dasar gila”, karena saya pergi bekerja dengan menggenjot sepeda dari rumah di kawasan Cipayung, Jakarta Timur menuju Kuningan, Jakarta Selatan sejak November 2005 lalu hingga sekarang. Benarkah saya sudah gila? Bisa jadi. Menurut kabar di sebuah situs berita, kini semakin banyak orang gila berkeliaran di jalan karena stres pascakenaikan harga BBM. Faktanya, selama ini saya pun stres dengan situasi kemacetan lalulintas Ibukota dan polusi udara yang semakin parah. Kendaraan bermotor setiap hari kian bertambah justru seiring meroketnya harga BBM. Ironis! Namun ternyata komunitas pekerja bersepeda, Bike to Work (B2W) Indonesia menawarkan alternatif jitu untuk mengekspresikan kegilaan tersebut. Mereka mensosialisasikan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi alternatif sehari-hari untuk ke tempat kerja maupun aktivitas lainnya.

Jika menilik makna kata gila yang berarti ‘tidak biasa’, maka dapat dibenarkan kalau B2W adalah suatu bentuk kegilaan tersendiri. Bagaimana tidak, saat ini siapa yang mau bersepeda di tengah-tengah lalulintas Ibukota yang semrawut? Siapapun mungkin akan ngeri menggenjot sepeda di antara kendaraan bermotor yang berseliweran sak enak udele dewe. Untuk bersepeda di Jakarta mungkin dibutuhkan kesiapan bertarung dengan pengendara bermesin demi memperebutkan space walau setengah meter saja. Beradu sikut dengan pesepeda motor bahkan diseruduk moncong bus, seolah telah ditakdirkan sebagai risiko yang harus di hadapi para ksatria “kendaraan berotot” ini. Ya, kata orang Ibukota memang kejam, begitupun lalulintas jalan rayanya.

Tetapi B2W justru ingin melawan image yang telah melekat kuat di sebagian besar masyarakat Ibukota. Predikat gila pada B2W tidak habis hanya sampai di situ. Kata gila juga dapat berarti ‘tidak masuk akal’. Dan faktanya, mayoritas orang menganggap aktivitas yang diusung B2W sebagai tindakan gila, nggak masuk akal. Seperti yang juga diserukan rekan kerja saya tadi. Ketika saya ikut menyuarakan beberapa moto yang diusung B2W, no pollution, less traffic, save gasoline, save money, mereka pun dengan apatis menimpali save your lung guys!

Bagi mereka, bersepeda di Jakarta untuk saat ini sangat tidak realistis. Jakarta sebagai kota berperingkat ketiga polusi udara di dunia, lalulintasnya sudah semrawut. Mereka nggak mau kalau paru-paru mereka ikutan jadi “semrawut” karena kebanyakan menghirup CO2. Tapi melalui aksi kampanyenya, B2W berusaha membalikkan opini masyarakat bahwa ternyata kegilaan itu justru sangat realistis. Pepatah Jerman mengatakan, “Sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan”. Artinya, Dengan bersepeda, kita tidak perlu obat-obatan lain untuk menjaga kesehatan kita. Banyak hasil riset membuktikan bahwa orang-orang yang mengendarai sepeda setiap hari, mengalami kemajuan tingkat kesehatan yang lebih baik daripada orang-orang yang biasa berkendaraan mobil atau kereta. Bahkan, ada salah satu anggota B2W yang masih tampak bugar di usianya yang hampir kepala lima karena kegilaannya itu.

Bukti riset dan pengalaman seperti itu kerap disosialisasikan para anggota B2W ke masyarakat baik secara langsung maupun lewat forum di milis B2W. Soal polusi udara yang justru mengancam paru-paru? Nggak usah cemas. Toh B2W tidak asal menyuruh orang-orang bersepeda di Jakarata begitu saja. Ada persiapan yang harus dipenuhi untuk bersepeda di Ibukota. Di antaranya, wajib hukumnya memakai masker agar paru-paru kita terlindung dari udara yang tidak sehat. Justru dengan banyaknya orang bersepeda akan menghemat konsumsi BBM, sehingga mengurangi polusi udara di kota-kota besar seperti Jakarta.

Jadi, ini kegilaan yang masuk akal dan realistis bukan!
Hanya sampai di situkah kegilaan B2W? Tampaknya tidak. Karena kata gila masih menyimpan asosiasi makna yang lain, yaitu ‘menyukai’, ‘mencintai’, atau ‘menggemari’ (sesuatu). Menggiring masyarakat agar mau memilih sepeda sebagai transportasi alternatif, memang tidak mudah. Perlu ada kesadaran yang ditanamkan terlebih dahulu dalam diri mereka bahwa bersepeda itu ternyata menyenangkan. Ketika seseorang telah merasakan senang bersepeda, maka ia pun berpotensi jadi gila dalam arti menjadi menyukai, menggemari, atau bahkan mencintai aktivitas bersepeda. Rasa senang itu sendiri bisa timbul dari beberapa faktor, di antaranya faktor kenyamanan. Dan berbicara masalah kenyamanan bersepeda, dapat dilihat dari dua sisi.

Pertama, kenyamanan yang ditimbulkan dari diri sendiri melalui sepeda yang digunakan, dan beberapa perlengkapan utama seperti helm, masker, sarung tangan, kacamata, atau jaket pelindung.

Kedua, kenyamanan yang diciptakan dari luar, yaitu prasarana pendukung berupa bike lane atau jalur prioritas sepeda yang perlu ditopang fasilitas lain seperti tempat parkir khusus sepeda dan kamar mandi di perkantoran, mal, terminal, stasiun dan tempat-tempat umum lainnya, sebagaimana yang tergambar dalam misi B2W. Itu semua dapat tercapai apabila pemerintah, pengelola perkantoran, dan pengelola fasilitas umum, serta masyarakat, sama-sama berkomitmen untuk meraihnya.

Saat ini tercatat baru beberapa gedung perkantoran di Jakarta yang telah menyediakan fasilitas parkiran sepeda, salah satunya gedung Siemens di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Itu digagas atas inisiatif salah seorang karyawannya yang juga anggota B2W. Sementara untuk penyediaan bike line, nampaknya harus membutuhkan proses panjang karena terkait dengan pembangunan infrastruktur besar yang terencana dengan perhitungan matang. Misalnya, perlu memperhitungkan berapa banyak orang yang menggunakan sepeda di Jakarta, sehingga pembangunan bike line tidak mubazir. Karena tidak mungkin pemerintah mau membuat bike line jika jumlah pengguna sepeda hanya sedikit. Tampak dilematik memang, karena di sisi lain adanya bike line justru juga dapat mendorong masyarakat untuk mau bersepeda. Tetapi B2W tidak larut dalam dilema itu. Misi perealisasian bike line terus disuarakan dan B2W pun kian gencar mengajak banyak orang untuk bersepeda. Sampai saat ini anggota komunitas B2W yang tergabung di milis b2w-indonesia@yahoogroups.com per 2 Agustus 2006, berjumlah 567 orang.

Sekedar asumsi, jika jumlah minimum pengguna sepeda di Jakarta yang dipersyaratkan harus sebanyak 300 ribuan untuk realisasi bike line, maka jumlah tersebut baru dapat tercapai selama 10 tahun lebih. Itu pun jika setiap anggotanya berhasil “meracuni” kegilaan ini kepada satu orang saja setiap minggunya. Tapi perlu dicatat, di luar anggota yang terdaftar itu, masih ada lebih dari dua ribuan pesepeda yang berseliweran di jalan-jalan Ibukota. Jadi, bukan mustahil jika angka yang dipersyaratkan itu dapat terwujud kurang dari dua tahun. Maka tak heran jika hingga saat ini B2W ─yang dideklarasikan pada 27 Agustus 2005 lalu─ tetap gencar dan serius menjalankan visi dan misinya itu. Hampir setiap minggu aksi B2W, baik secara individu maupun masal selalu terlihat lewat kampanye di jalan-jalan Ibukota seperti di Bunderan HI. Selain melalui flayer, penyebaran informasinya pun kini mulai diperluas melalui kerjasama dengan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Dan, di penghujung Agustus lalu, B2W genap setahun menularkan kegilaannya. Dengan tema 2006-nya, “Cegah Polusi, Hemat BBM, Kurangi Macet, Sehat dan Bugar Beraktifitas”, B2W mungkin akan menjadi virus baru yang akan menjangkiti masyarakat Ibukota. Maka lagi-lagi akan banyak orang yang berseru “Gila!”. Namun kegilaan kali ini tertuju pada bentuk semantik berupa seruan yang menggambarkan ungkapan ‘kagum’.

Terbukti telah banyak respon positif masyarakat terhadap gerakan ini. Tak jarang rasa salut walau sekadar acungan jempol diberikan sebagai bentuk apresiasi mereka. Seperti yang pernah dialami salah satu anggota B2W yang suatu ketika dipepet sebuah mobil, yang ternyata si pengendara hanya mau menyampaikan rasa salutnya. Jadi, terjawab sudah semantik yang mengikat makna kata gila. Tanpa sebuah penjabaran teori linguistik, Anda dapat melihat satu wilayah semantik yang merangkul seluruh makna kata gila dalam sebuah nama Bike to Work

*****

Tapi ternyata uraian ini belum habis karena kegilaan ini masih menyimpan sebuah tanya. Bagaimana dengan masalah kepraktisan? Tak dipungkiri pastinya orang akan menganggap kalau bersepeda ke tempat kerja pasti repot. Badan berkeringat, sehingga harus mandi dan mau tak mau harus membawa pakaian ganti. Kalau soal itu nanti dulu, karena yang tepenting adalah apakah Anda telah siap menerima kegilaan yang ditawarkan B2W? Sebaiknya sih Anda menjawab “iya” karena ini adalah kegilaan yang sangat dianjurkan. Maka ketika Anda siap untuk mejadi gila, tanpa di sadari nantinya Anda akan benar-benar gila sehingga tak lagi memikirkan repotnya berkeringat, mandi, dan membawa pakaian ganti. Hingga pada suatu saat rekan-rekan kerja Anda yang akan menyadarkan Anda dengan seruan “Dasar gila!”. Tapi jangan khawatir, niscaya Anda tetap akan mempertahankan kegilaan yang akhirnya telah Anda sadari.

Jakarta, 24 Juli 2006
Muhammad Arief Rahman Penulis adalah anggota komunitas Bike2Work
Alamat penulis: Jln. Raya Cipayung No.31 Rt.003/02 Jakarta 13840 Telp. 021-93201201

[*] Tulisan ini untuk memperingati satu tahun Bike2Work, 27 Agustus 2006.

-mahadewi
Diambil dari milis B2W

Read More/Selengkapnya...

Merupakan wujud tanggung jawab perusahaan dengan menarik kembali dan mengganti secara cuma-cuma bagian dari produknya di pasaran yang mengalami kendala tanpa disengaja / di luar dugaan. Hampir semua perusahaan besar bahkan di negara maju pernah menerapkan kebijakan ini demi kepuasan pelanggannya. Oleh karena itu, jangan ragu! Dukung proses Polygon Product Recall yang tercantum berikut ini:

FRAME sepeda Polygon XTRADA edisi th. 2007 yang WARNA MERAHNYA PUDAR

Prosedur:

  • Pemilik silakan membawa / menyerahkan frame / sepedanya paling lambat s/d tanggal 31 Mei 2008 di toko tempat pembelian dengan menyertakan nota pembelian / lembar garansi. Pihak Polygon akan mengganti frame tsb dalam jangka waktu 10 hari kerja.

Note:

  • Usai mendapatkan penggantian, maka frame lama (yang warnanya pudar) akan menjadi milik Polygon untuk kepentingan penelitian. Pemilik mendapatkan frame baru yang sebenarnya sebagai pengganti.

Read More/Selengkapnya...